arem-arem

Pukul 12 lewat. Di tengah hari yang terik ini perutku mendadak minta diisi. Otakku langsung berpikir cepat tentang dua hal, yakni makanan apa yang membuat makan lebih berselera kemudian tempat makannya. Pertama yang muncul ialah ayam geprek pedas dengan sayuran yang ditumis serta es teh. Hmm... membayangkan saja air liur sudah mengumpul. 

Oke, warung ayam geprek cukup banyak tinggal pilih yang mana. Dua warung tutup. Pilihan terakhir jatuh pada warung nasi kecil di mulut jalan persis. Aku sudah kenal dengan pemilik warung nasi ini, suka ngobrol lama kadang sampai berjam-jam kalau warung sepi pelanggan. Warung yang memiliki lebar tidak sampai 10 langkah kakiku ini menyediakan makanan yang ku idam-idamkan. Kebetulan ibu penjual juga sedang makan siang sambil mendengarkan ceramah dari ustad favoritnya. Mau tidak mau aku juga mendengarkan ceramah itu meski terpotong-potong karena volumenya terlalu kecil, maklum suaranya bersumber dari speaker handphone

Aku makan cukup cepat karena lapar sekali. Ibu itu belum menyelesaikan makanannya dan malah asyik mengobrol denganku mengenai berbagai hal. Mulai dari awal mula ia menetap di kota ini, lalu bekerja di warung penyetan milik saudara, setelah itu pandemi memaksa menutup warung ayam itu dan akhirnya ia memulai mendirikan warung nasi sendiri. Percakapan itu melebar ke arah perihal jodoh dan kriteria ideal seorang suami. Sebenarnya banyak yang tidak sependapat namun aku hanya mengiyakan karena berdebat dengan ibu yang baik ini tidak ada untungnya, malah aku membuat orang bingung dengan pikiran aneh dan nyelenehku.

Setelah percakapan itu topik berganti pada keluarganya. Betapa ia membenci sifat kakaknya namun masih menghormatinya. Lalu aku sedikit menceritakan tentang bagaimana kakekku dari kedua pihak orangtuaku sakit yang berujung pada kematian. Sesekali aku melihat nasinya masih utuh, ia tidak melanjutkan makan meskipun ku beri kesempatan agar ia makan kembali. Namun katanya dia sudah kenyang. Sedangkan semua makananku sudah tercerna dan otakku memerintahkan untuk membeli ice cream di mini market terdekat untuk melawan hawa panas yang sangat terik ini.

Aku putuskan untuk mengakhiri pembicaraan dengan berdalih harus menyelesaikan pekerjaan dan tugas yang menumpuk. Sebelum aku pergi, ibu warung menyuruhku membawa arem-arem di atas meja. Aku ambil satu dari tiga arem-arem itu. Tapi ibu itu bersikeras memberi aku satu lagi. Akhirnya aku membawa dua buah arem-arem. Di jalan pulang aku mampir ke mini market dan membeli eskrim cokelat mirip Magnum namun dengan harga yang lebih murah. Itu pun cukup.

Sepulang dari makan aku langsung menghabiskan sepotong eskrim itu. Habis tidak tersisa. Rasanya siang hampir sore itu sangat panas ini bisa teredam sedikit dengan eskrim cokelat imitasi Magnum itu. Terulang kembali percakapanku dengan ibu warung. Banyak hal yang aku tidak setuju atau malah setuju sekali dengan pendapat dan cerita beliau. Tidak mudah bagiku mengutarakan pendapatku, lebih kepada tidak enakkan dan apa gunanya karena tidak akan mengubah apapun. Kecuali kawan bicaraku sangat kelewatan dan aku tidak bisa mengerti logika dia berpikir maka itu saatnya aku mengutarakan apa yang ada di kepalaku.

Tak terasa sudah larut, aku bersiap memulai workout yang sudah seminggu ini aku tinggalkan karena kesibukan duniawi. Setelah latihan aku mandi dan melanjutkan pekerjaan dan tulisanku yang masih sepotong jadi. Jam 21.00 perutku kembali bernyanyi meminta makanan. Aku tidak mempersiapkan makan karena ku kira porsi dua orang siang tadi cukup sampai besok pagi. Kenyataannya tidak, perut kecilku lebih sering minta makanan.

Ekor mataku tertuju pada arem-arem yang kulupakan. Sekarang dua buah arem-arem itu sudah ludes ku makan. Rasanya masih enak. Terima kasih ibu warung karena sehari ini sudah membuat kenyang perutku yang mudah lapar ini. 

google






Comments

Popular posts from this blog

Hallo

Imlek 2019